Minggu, 25 Desember 2016

Integrasi dalam Sejarah Islam

Integrasi Tasawuf Dan Sains

IDENTITAS
Nama                     :    Herawati Hasibuan
NIM                      :    72153002
Prodi/Sem             :    Sistem Informasi-2 / III
Fakultas                 :    Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi   :    UIN Sumatera Utara
Dosen Pengampu  :    Dr. Ja’far, MA
Matakuliah            :    Akhlak Tasawuf

TEMA                        :   Integrasi dalam Sejarah Islam
           
BUKU
Identitas Buku     :   Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum sufi(Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1    :   Integrasi dalam Sejarah Islam


Integrasi dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah intelaktual Islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikemabngkan dengan canggih. Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuan, teolog, dan saintis muslim yang menguasai banyak bidang baik ilmu-ilmu kewahyuan maupun ilmu-ilmu rasional empiric.
Para filsuf dari mazhab Paripatetik merupakan pemikir Muslim yang mebrhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran islam yang bersumberkan kepada Alquran fan nhadis, lantaran tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigm islam. Diantara prestasi besar mereka sebagai ilmuan Muslim adalah kemampuan mereka menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu kewahyuan. Secara leilmuan, mereka menguasai benyak disiplin ilmu, dan secara personal mereka berperan sebagai seorang saintis Muslim yang berpola hidup religious dan suistik. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religious adalah dampak dari keyakinan bahwa ilmu-ilmu religious merupakan ilmu-ilmu fardh al-‘ain yang wajib dikuasai dan diambilkan setiap Muslim apapun profesi mereka.
Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah islam menyabutkan keberadaan para filsuf dari mazhab Isyraqiyaj dan mazhab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Diantara mereka adalah Suhrawardi (w. 1991) yang dikenal dengan ahli filsafat, tasawuf, Zoroastrianisme, dan Platonisme.
Dengan demikian, integrasi ilmu dalam islam bukan hal yang baru. Sebab, para ilmuan Muslim klasik telah mengerjakan proyek keilmuan tersebut sepanjang masa keemasan Islam. Paling tidak, secara akademik mereka menguasai seluruh disiplin ilmu yang berkembang pesat pada masa mereka, bail ilmu-ilmu rasional ilmu-ilmu empiric, maupun ilmu-ilmu kewahyuan. (Gerbang Tasawuf : Dr. Ja’far MA hl 102-105).

KESIMPULAN
Meskipun mereka seorang filsuf dan sintis, perilaku hidup mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan sufisme. Dan mereka sukses mengintegrasikan antara dua jenis ilmu tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.

RELEVANSI DALAM BIDANG

Sebagai salah satu mahasiwi sistem informasi saya berharap bisa mengintegrasikan ilmu teknologi dengan ilmu yang berbasis hokum islam serta dengan ilmu-ilmu kewahyuan.

Integrasi dalam ranah ontology, epistemology, aksiologi

Integrasi Tasawuf Dan Sains

IDENTITAS
Nama                     :    Herawati Hasibuan
NIM                      :    72153002
Prodi/Sem             :    Sistem Informasi-2 / III
Fakultas                 :    Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi   :    UIN Sumatera Utara
Dosen Pengampu  :    Dr. Ja’far, MA
Matakuliah            :    Akhlak Tasawuf

TEMA                        :   Integrasi dalam ranah ontology, epistemology, aksiologi
           
BUKU
Identitas Buku     :   Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum sufi(Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1    :   Integrasi dalam ranah ontology
Sub 2    :   Integrasi dalam ranah epistemology
Sub 3    :   Integrasi dalam ranah Aksiologi

Integrasi dalam ranah ontology
Istilah ontology berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos  yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontology bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Otologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang ensensi segala sesuatu. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan.
Para sudi awal memang lebih banyak memfokuskan keapda mesalah kedekatan kepada Allah Swt., tetapi belakangan mereka meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain tasawuf juga mulai bersinggungan dengan filsafat, sehingga mereka tidak saja membahas dan menyibak hakikat wujud-Nya, tetapi juga wujud alam dan manusia.

Integrasi dalam Ranah Epistemologi
Istilah epistemology berasal dari bahsa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemology berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epostemologi adalah makna oengetahuan, kemungkinan mnusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui.
Kajian-kajiann ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksprimen yang disebur dalam epistemology Islam sebagai metode tajribi yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa melengkapi dan mendukung satu sama lain. Meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan eksprimen) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetapi perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah (al-ibadah) termasuk dzikir, serta melakukan praktik riyadhah dan mujahaddah.

Integrasi dalam Ranah Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria, dan status metafisik dari nilai tersebut. Dari aspek etika akademik, nilai-nilai luhur tasawuf dapat menjadi landasan etis seseorang ilmuan dalam pengembangan sains dan tekhnologi. Kosep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis sebagai ilmuan Muslim.
Meskipun memiliki banyak kekayaan material, seorang saintis Muslim masa depan harus bersikap zuhud dan fakir, dan menolak harta yang syubhat dan haram. Seorang saintis Muslin harus zuhud dan fakir, dalam arti bahwa ia menampilkan hidup sederhana meskipun memiliki banyak harta; dan bersikap dermawan. Seorang saints muslim harus memiliki sikap sabr (sabar dalam beribadah [termasuk kegiatan riset yang disadari oleh etika religious], sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat).
Dengan demikian, saintis muslin masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf, dan dapat  mengintegrasikannya dalam kehidupan akademik dan sosialnya.

KESIMPULAN
Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan. Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksprimen yang disebur dalam epistemology Islam sebagai metode tajribi yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Dengan demikian, saintis muslin masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf.

RELEVANSI DENGAN BIDANG
Dalam sedang menjalani jurusan sistem informasi, sebelum membuat system, adabaiknya kita melakukan metode observasi seperti yang telah dijalankan oleh para sufi.



Al muraqabah, takut, harap, rindu

IDENTITAS
Nama                     :    Herawati Hasibuan
NIM                      :    72153002
Prodi/Sem             :    Sistem Informasi-2 / III
Fakultas                 :    Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi   :    UIN Sumatera Utara
Dosen Pengampu  :    Dr. Ja’far, MA
Matakuliah            :    Akhlak Tasawuf

TEMA                        :   Mengenai al-Ahwal
           
BUKU
Identitas Buku     :   Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum sufi(Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1    :   Al-Muraqabah
Sub 2    :   Takut (al-khauf)
Sub 3    :   Harap (al-raja’)
Sub 4    :   Rindu (al-syawq)

Mengenal al-ahwal
Sebagian sufi telah menyebut beberapa contoh al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf, al-raja’ dan al-syawq. Berbeda dari al-maqam yang diraih dari hasil usaha salik secara mandiri dengan melakukan ibadah, mujahadah, riyadhah, al-ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugerah dari Allah Swt. dan keadaannya tidak kekal dalam diri seseorang salik.

Al-Muraqabah
Ajaran al-muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Kata al-muraqabah memang tidak digunakan Alquran,  meskipun kata seakar dengannya dapat ditemukan antara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-muraqabah disebut sebanyak 24 kali.
Keadaan ini dirakan salik ketika menguasai diri sendiri terhadap segala perbuatannya di masa lalu, memperbaiki diri sendiri di masa kini, selalu berada di jalan kebenaran, mengadakan hubungan baik dengan Allah Swt. sambil menjaga hati, menjaga jiwa agar selalu berhubungan denganNya, dan memeliharanya dari segala hal. Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah , yakni keyakinan seorang salik  bahwa dirinya selalu diawasi Allah Swt. dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya, dan membenci dan tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa.

Takut (al-khauf)
Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran dan dapt ditemukan dalam hadis dan atsar. Hakikat takut (al-khauf) dapat ditemukan dalam Q.S Ali Imran/3:175 yang artinya :
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakt-nakuti(kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang mustrik Quraisy), karena itu jangan lah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang beriman.” (Gerbang Tasawuf : Dr. Ja’far MA hl.86-87).
Para sufi telah membicarakan masalah takut (al-khauf) dalam karya-karya mereka. Menurut al-Qusyair, “makna takut kepada Allah Swt. adalalh takut kepada siksaanNya, baik didunia maupun diakhirat. (Gerbang Tasawuf : Dr. Ja’far MA hl 88).

Harap (al-raja’)
 Hakikat harap (al-raja’) dapat ditemukan secara mudah dalam Alquran. Diantaranya dalam Q.S Al-Baqarah/2 :218; dan Q.S Al-Zumar/39:53. Kata harap (al-raja’) tidak ditemukan dalam Alquran, meskipun bentuk lain dari akar yang sama dapat disebut sebanyak 28 kali, terutama dalam kata tarjuna, yarju, yarjuna yang maknanya antara lain harap atau berharap. (Gerbang Tasawuf : Dr. Ja’far MA hl 89).

Rindu (al-syawq)
Diantara yang temasuk al-hal adalah Rindu (al-syawq) kepada Allah Swt. Kaum sufi menilai penting konsep rindu kepada Allah Swt. sebagai Kekasih sejati manusia, dan menjadi salah satu tanda kecintaan menusia kepadaNya. Menurut Al-ghajali, orang yang memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt, pasti ia akan memungkiri hakikat rindu. Apabila seseorang hamba mencintai Allah Swt, maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu dan melihat-Nya. Allah swt berfirman dalam Q.S al-Ankabut/29:5: yang artinya “ Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dialah Maha Mendengan dan Maha Mengetahui.” (Gerbang Tasawuf : Dr. Ja’far MA hl.89-90).

KESIMPULAN
Seorang hamba yang memiliki keadaan al-muraqabah yakni bahwa dirinya selalu diawasi Allah Swt. dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya. Takut keapada Allah Swt adalah takut atas siksaanNya, sehingga seorang hamba akan melaksanakan perintah Nya. Sehingga al-raja’ bermakna harapan seorang sufi kepada Allah Swt. amal tobat dan pengampunannnya diteriima Allah Swt. serta rindu merupakan keinginan kuat untuk menemui dan melihat kekasih sejatinya, yakni Allah Swt.

RELEVANSI DENGAN BIDANG

Ciptakan lah rasa takut anda serta penuh harap kepada sang maha pencipta agar segala yang kita lakukan penuh dengan  amal kebaikan,  apalagi kelakuan serta perbuatan yang selalu mengambil hal-hal yang negative dari sumber tekhnologi yang bisa merusak diri sendiri. Serta ciptkanlah rasa rindu kepada Allah bukan hanya kepada manusia saja.

Kamis, 15 Desember 2016

Integrasi dalam ranah ontologi



IDENTITAS
Nama                           :    Herawati Hasibuan
NIM                            :    72153002
Prodi/Sem                   :    Sistem Informasi-2 / III
Fakultas                       :    Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi         :    UIN Sumatera Utara
Dosen Pengampu        :    Dr. Ja’far, MA
Matakuliah                  :    Akhlak Tasawuf

TEMA                        :   Cinta(al-mahabbah), Rida (al-ridha), Al-Maqam Lainnya
           
BUKU Identitas Buku : Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum sufi(Medan: Perdana Publishing, 2016)


SUB 1 :  Integrasi dalam Ranah Ontologi

Antologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik etensial keberadaan. Suriasumatri menyimpulkan bahwa antologi bagiaan dari kajian filsafat yang membahas tentang hakekat dari objek tela’ah ilmu dan hubunga objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian antologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah antologi ditunjukkan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
Dalam hal ini para sufi meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain tasawuf yang juga bersingguhan dengan filsafat, sehingga mereka tida hanya membahas tentang dan menyibak tentang wujudnya namuin alam dan manusi ahal ini dapat di lihat dari karya kary aibnu ‘arabi dah para sufi lainnya.

SUB 2 : integrasi dalam ranah Epistemologi

Epistemologi dikenal sebagai ilmu yang mengkaji tentang cara mendapatkan ilmu kajianilmu yang dilakukan dengan observasi dan ekperimen jika dalam epistemologi islam disebut sebagai metode tajribi yang kajian tasawufnya mengandalkan metode irfani. Dalm khanazah peradaban islam banyak saintis muslim yang ahli dalam bidang ilmu ilmu kealamanjuga seorang sufi yang mumpuni dalambidang tasawuf. Dari pengalaman spritual ibn arabi mampu menembus bagain bagiandunia lainnya dan ia di perkenalkan pada berbagai jenis mineral dan manfaat medisnya,zikir selanjutnya mmpu membawa ibnu arabi keoada 23 duia gaib. Para sufis seperti ibn sina ibn arabi memanfaatkan metode zhikir unutk mendapatkan informasi informasi terutama dalam pemahaman dunia fisik dan non fisik . hal itu merupak wujud ketundukan mereka terhadap allah. Dala aspek ini saintis muslim mengutamakan metode tazkiyah al-nafs dengan berbagai ritual ibadah .



SUB 3 :integras dalm ranah Aksiologi

Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, karakteria dan statuf metafisik. Menurut Bunnin danYu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian termasuk makna, karakteristik dankalsifikasi nilai. Aksiologi juga dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu.
Dari aspek etika akademik, nilai nilai luhur tasawufa dapat menjadi landasan etis seorang ilmuan dalam pengembangan sains dan teknologi.

Kesimpulan
Integrasi dalam ranah antologi, epistemologi, aksiologi kesemua ini adalah bagian dari filsafat ilmu yang memiliki nilai dan metode tersendiri bagi kaum sufi serta saintis muslim yang selalu mengaitkan banyak hal dengan metode tazkiyah al nafs . berhubungan dengan alam dan teknologi ilmu daninformasi yang mereka dapatkanmelalui dzikir dll

Relevansi dengan bidang
Di dalam hal epistemologi pasti mempelajari tentang teknologi dan sains apalagi sebagai mahasiswa/i harus terus berpartisifasi untuk keislaman, sebagai penerus bangsa dan harus memberikan kehidupan yang lebih maju dengan adanya teknologi.

Rabu, 14 Desember 2016

Biografi dan karya-karya al-hallaj



BIOGRAFI DAN KARYA - KARYA 
AL-HALLAJ

Latar Belakang
Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan ma’rifat dan tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik, seperti halnya Al Ghazali, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).
Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis dibahaskan, kerana pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis, kecuali hanya saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak dahulu.
Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh Husein Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya yaitu paham hulul. Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi nadi.

A. Biografi Al-Hallaj
Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian distrik Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi yang merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat militer (dengan sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar dari Shiraz ke Khurasan untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Beliau dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas . Ayahnya adalah seorang penyortir wool (hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar al-Hallaj . Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz dan Tustar. Kakeknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa al Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.
Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal. Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk belajar kepada Sufi ‘Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873-879 M bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, ‘Amr al-Makki, dan Junaid al-Baghdadi.
Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh ternama yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah menunaikan ibadah haji tiga kali selama hidupnya. Dalam perjalanan dan pengembaraan serta pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang membentuk pribadi dan pandangan hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicara ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Sampai-sampai seorang ulama fiqh terkemuka yang bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa paham dan ajaran al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini Al Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan dari seorang penjaga yang menaruh simpati padanya.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309/921M diadakanlah persidangaan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum mati dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalakan tergantung pecahan-pecahan tubunhnya itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian dibakar tubuhnya dan abunya dihanyutkan di sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya eksekusi “ekstra tragis” yang diterima al-Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut (disebat) seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal, tapi sebelum dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai sedangkan kepalnya di bawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat Islam dan sejarahnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al-Hallaj, algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian dikerumuni orang banyak yang datang dari berbagai penjuru yang diperintahkan untuk melempari batu kepadanya. Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara dan hukuman mati, yaitu Ana Al Haqq (aku adalah Yang Maha benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat, dia berteriak seraya berseru kepada Allah : “Sesungguhnya wujud Allah itu telah jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat”.
Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya dengan tersenyum, bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya seakan-akan dia berwudhu dengan darah sucinya itu. Setelah itu para algojo memotong lidah dan mencukil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan memintakan ampun bagi para algojo kepada Allah “Mereka semua adalah hambaMu, mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agamaMu dan untuk mendekatkan diri kepadaMu. Maka ampunilah mereka. Andaikata Kau singkapkan kepada mereka apa yang Kau singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini.”
Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Quran beserta pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadist serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Beliau merupakan seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan masih banyak lagi sifat kesalehannya.

B. Karya – Karya Al-Hallaj
Ibnu nadim seorang ahli riwayat ternama, yang banyak sekali membicarakan al-Hallaj dan menentang pendiriannya, mencatat bahwa karya-karya al-Hallaj tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Diantaranya adalah:
1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
2. Kitab Al Ushul wal Furu’.
3. Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
4. Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
5. Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
6. Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
7. Kitab “Hua, Hua”.
8. Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at-Taftazani, kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.

C. Filsafat Al-Hallaj
Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga kadang dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di sekililing tiga hal, yaitu :
1. Hulul ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut).
Secara etimologi Hulul memiliki sinonim dengan infusion yang bermakna “penyerapan” yakni menyerap keseluruh obyek yang dapat menerimanya (the infusion spreads to all part of the receptive object). Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena membari pengertian secara jelas bahwa adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau sekedar terlebarnya nasut kedalam lahut, dan diantara keduanya tetap ada perbedaan. Untuk lebih memahami doktrin hulul ini, lebih jelasnya dapat merujuk kepada rangkaian penjelasan al-Hallaj berikut ini : “Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senantiasa suci dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempat dalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan . Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk ”.
2. Al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Nur Muhammad)
Menurut al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu , segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan . Dan dengan perantaraan Nur Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa diartika juga sebagai pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala Nabi. Dan nabi-nabi itu, nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran dari Nur Muhammad.
Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berdasar pada hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi, yaitu : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari cahayku”. Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabai (w638H) dan Abd.al Karim bin Ibrahim al Jili (w.811H) dalam kerangka ide Insan Kamil.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh al Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al Hallaj dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud.
3. Wahdah al adyan (Kesatuan agama-agama)
Inti ajaran dari Wahdah al adyan adalah sebenranya nama agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja. Nama berbeda, satu tujuan. Segala agama adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Paham Wahdah al-Adyan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Yakni pahamnya al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah mendorongnya untuk berkesimpulan tentang kesatuan agama.
Mengenai hal ini, ‘Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana dicatatkan oleh al-Taftazani sebagai berikut:
“Suatu hari aku bertengkar dengan orang yahudi di pasar baghdad. Diapun ku maki: hai anjing. Ketika itu al-Hallaj lewat dan memandangku dengan geram. Dan tegurnya: jangan kau maki anjingmu. Dan diapun langsung pergi. Setelah pertengkaran itu, aku mencari al-Hallaj. Namun ketika ku temui, dia memalingkan wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Lalu dia berkata: wahai sahabatku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Kerena itu, barangsiapa menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama saja halnya dia telah menghukumi golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Ketahuilah ! agama-agama yahudi, islam dan yang lain-lainya adalah sebutan serta nama yang beraneka ragam dan berbeda. Akan tetapi tujuan tujuan semuanya tidak berbeda” .
Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi lebih baik perdalamlah agama masing-masing.
D. Pendapat Ulama Mengenai Pemikiran Al Hallaj
Berbagai macamlah perkataan ulama tentang al-Hallaj. Sebagian mengkafirkan dan sebagian yang lain membela atau membenarkan. Beberapa perkataan, terutama dari pihak masa kekuasaan pada masa itu tersiar bahwa ajaran al-Hallaj sangat merusak ketentraman umum. Murid-muridnya sampai ada yang menyangka bahwa al-Hallaj adalah Tuhan, sebagaimana prasangkaan orang nasrani terhadap diri isa al-masih. Dia dianggap pandai menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit kusta. Muridnya kian lama kian banyak. Dan setelah diselidiki oleh penyelidik kerajaan, katanya dia mengadakan hubungan yang rapat dengan kaum karamithah, yaitu segolongan umat di abad ketiga dan keempat yang menyerupai faham komunis di indonesia. Sebab itu dia tidak mau mengakui kekuasaan pemerintahan yang sah. Dia mengakui sebagian kepercayaan kaum ismailiyyah bahwa imam yang sejati ialah imam yang ghaib.
Dan lagi menurut beritra yang tersiar itu pula beliau menfatwakan bahwasannya naik haji yang lahir pergi ke mekkah itu tidaklah perlu dikerjakan. Sebab itu hanya memayah-mayahkan diri saja. Itu boleh diganti dengan haji yang lain, yaitu dengan haji rohani, dengan membersihkan diri dan jiwa dan tafakur mengingat Tuhan dalam khalwat, sehingga ka’bah itu sendirilah yang datang kedalam khalwatnya menemuinya. Disanapun dia boleh berthawaf.
Memang, banyak di antara ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang sependapat dan membelanya. Kebanyakan Ulama fiqih mengkafirkannya. Dengan alasan bahwasanya mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan Tuhan adalah syirik yang amat besar. Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al Qayyim, Ibn an Nadim dan lain-lain berpendapat bahwa hukuman mati yang ditimpakan kepada Al Halaj memang patut diterimanya.
Tetapi ulama-ulama fiqih yang lain seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang sangat terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa berkata apa-apa".
Pembela-pembela Al Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang kepadanya. Syaikh Abdurrahman As Saqqaf salah seorang Syaikh tarikat Alawiyah, mengatakan bahwa dia sebelumnya menyangka pada diri Al Hallaj ada keretakan karena sikapnya, seperti keretakan pada kaca, tetapi setelah sampai pada maqam al qutbiyyah dia melihat bahwa Al Hallaj telah mencapai tingkat bila diandaikan buah dia telah matang.
Imam Al Ghazali ketika ditanyai bagaimana pendapatnya tentang perkataan "ana al haq?". Beliau menjawab," Perkataan demikian yang keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah. Apabila cinta sudah demikian mendalamnya, tidak ada lagi rasa berpisah antara diri seseorang dengan seseorang yang dicintainya". Sehingga beliau, Jalaludin Rumi, dan Fariduddin al Attar memberinya julukan "Syahidul Haq" (seorang syahid yang benar).
Beliau syekh Maftuh Basthul Birri salah satu masyayikh di ponpes Hidayatul Mubtadi’in (lirboyo) dalam bukunya yang berjudul Manaqib 50 Wali Agung mengatakan “Syekh al-Hallaj ini tinggi sekali ma’rifat dan ilmu haqiqatnya, jadzab dan cintanya dengan Allah seperti imam Abu Yazid al-Bustomi, sehingga beliau pernah berkata ANAL HAQ. Maka banyak orang yang ingkar karena tidak sampai kefahamannya”.
Top of Form