BIOGRAFI DAN KARYA - KARYA
AL-HALLAJ
Latar Belakang
Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan
melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan ma’rifat dan
tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad
tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang
menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik, seperti halnya
Al Ghazali, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al Harith al
Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).
Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana
keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah
habis dibahaskan, kerana pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling
bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majlis, kecuali hanya saling
mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang
serakah dan licik sejak dahulu.
Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang popular yang di lontarkan oleh
Husein Ibnu Al Hallaj "Ana al-Haq" dan juga tak kalah populernya
yaitu paham hulul. Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap
kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan praktis kerohaniannya dengan
melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari perbuatan
maksiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir
yang menjadi nadi.
A. Biografi Al-Hallaj
Memiliki nama lengkap Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
al-Baidawi . Beliau dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di Thur bagian distrik
Baida Persia, tempat orang-orang Iran selatan yang telah terArabisasi yang
merupakan sub camp dari jund Basrah, dan kemudian menjadi pusat militer (dengan
sebuah pabrik pembuat koin uang untuk pasukan yang keluar dari Shiraz ke Khurasan
untuk memerangi Turki), sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Beliau
dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan
tempat tinggal para penyortir kapas . Ayahnya adalah seorang penyortir wool
(hallaj), oleh karena itu beliau diberi gelar al-Hallaj . Bersama ayahnya,
al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz dan Tustar. Kakeknya,
Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk
Islam. Ada yang mengatakan bahwa al Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub,
sahabat Rasulullah.
Sejak kecil al-Hallaj sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal.
Pada saat ia berumur 16 tahun, ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn
Abdullah at-Tustury (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah
belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia
meninggalkan gurunya at-Tustury dan pindah ke Bashrah untuk belajar kepada Sufi
‘Amr al-Makki. Kemudian dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid
al-Baghdadi. Al-Hallaj pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873-879 M
bersama-sama dengan guru sufi al-Tustury, ‘Amr al-Makki, dan Junaid
al-Baghdadi.
Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain,
menambah pengetahuan dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh
ternama yang tidak pernah dimintainya nasehat. Al-Hallaj telah menunaikan
ibadah haji tiga kali selama hidupnya. Dalam perjalanan dan pengembaraan serta
pertemuannya dengan ahli- ahli sufi itulah yang membentuk pribadi dan pandangan
hidup al-Hallaj sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicara ulama
pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain.
Sampai-sampai seorang ulama fiqh terkemuka yang bernama Ibn Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa paham dan ajaran al-Hallaj sesat. Atas
dasar fatwa ini Al Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam
penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan dari seorang penjaga yang
menaruh simpati padanya.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwas. Disana ia bersembunyi
selama empat tahun. Namun pada tahun 301H/903M ia ditangkap kembali dan
dimasukkan lagi ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada
tahun 309/921M diadakanlah persidangaan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di
masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309H jatuhlah
hukuman kepadanya. Dia dihukum mati dengan mula-mula dipukul dan dicambuk
dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya,
dipenggal lehernya dan ditinggalakan tergantung pecahan-pecahan tubunhnya itu
di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian dibakar tubuhnya dan abunya dihanyutkan
di sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain diceritakan secara lebih mendetail mengenai jalannya eksekusi
“ekstra tragis” yang diterima al-Hallaj. Al-Hallaj tengah dipecut (disebat)
seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal,
tapi sebelum dipancung dia sempat shalat 2 rakaat. Kemudian kaki dan tangannya
dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan
kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai sedangkan kepalnya di bawa
ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat Islam dan sejarahnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika proses hukuman mati al-Hallaj,
algojo-algojo menaikkan al-Hallaj ke atas menara yang tinggi, kemudian
dikerumuni orang banyak yang datang dari berbagai penjuru yang diperintahkan
untuk melempari batu kepadanya. Ketika itu dia selalu mengulang-ulang kalimat
yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara dan hukuman mati, yaitu Ana Al
Haqq (aku adalah Yang Maha benar). Dan ketika disuruh untuk membaca syahadat,
dia berteriak seraya berseru kepada Allah : “Sesungguhnya wujud Allah itu telah
jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat”.
Ketika dipukul oleh para algojo, al-Hallaj tersenyum. Setelah selesai
memukulnya, mereka memotong tangan dan kakinya, diapun menerimanya dengan
tersenyum, bahkan dia sempat mengoleskan darah potongan tangannya ke mukanya
seakan-akan dia berwudhu dengan darah sucinya itu. Setelah itu para algojo
memotong lidah dan mencukil matanya. Pada saat itu dia berisyarat, seakan-akan
memintakan ampun bagi para algojo kepada Allah “Mereka semua adalah hambaMu,
mereka berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agamaMu dan untuk
mendekatkan diri kepadaMu. Maka ampunilah mereka. Andaikata Kau singkapkan
kepada mereka apa yang Kau singkapkan kepadaku, tentu mereka tidak akan
melakukan apa yang mereka lakukan sekarang ini.”
Al-Hallaj adalah seorang ‘alim dalam ilmu agama Islam. Sebagaimana dikatakan
oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Quran beserta pemahamannya,
menguasai ilmu fiqh dan hadist serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam
ilmu tasawuf. Beliau merupakan seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan
masih banyak lagi sifat kesalehannya.
B. Karya – Karya Al-Hallaj
Ibnu nadim seorang ahli riwayat ternama, yang banyak sekali membicarakan
al-Hallaj dan menentang pendiriannya, mencatat bahwa karya-karya al-Hallaj
tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Diantaranya adalah:
1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
2. Kitab Al Ushul wal Furu’.
3. Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
4. Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
5. Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
6. Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
7. Kitab “Hua, Hua”.
8. Kitab At Thawwasin.
Kedelapan
kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut at-Taftazani,
kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam
menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami,
sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya.
Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak
gampang dimengerti.
C. Filsafat Al-Hallaj
Inti ajaran al-Hallaj telah dinyatakan dalam bentuk syair (Tawasin) dan juga
kadang dalam prosa (Natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam di
sekililing tiga hal, yaitu :
1. Hulul
ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut).
Secara etimologi Hulul memiliki sinonim dengan infusion yang bermakna
“penyerapan” yakni menyerap keseluruh obyek yang dapat menerimanya (the
infusion spreads to all part of the receptive object). Secara harfiah hulul
berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang
telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut
keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution,
hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada
dalam tubuh itu dilenyapkan.
Dari
penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang
terjadi pada al-Hallaj tidaklah nyata karena membari pengertian secara jelas
bahwa adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang
terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau
sekedar terlebarnya nasut kedalam lahut, dan diantara keduanya tetap ada
perbedaan. Untuk lebih memahami doktrin hulul ini, lebih jelasnya dapat merujuk
kepada rangkaian penjelasan al-Hallaj berikut ini : “Siapa yang membiasakan
dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik
ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senantiasa suci dan meningkat terus hingga
terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan
dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempat dalam tubuhnya
sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu
seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh
Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan . Air tidak dapat
menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk ”.
2.
Al-Haqiqah al-Muhammadiyah (Nur Muhammad)
Menurut al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu ,
segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan . Dan dengan perantaraan
Nur Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa diartika juga sebagai
pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala Nabi. Dan nabi-nabi itu,
nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari Nur Muhammad itu. Segala
macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran dari Nur Muhammad.
Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama,
rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala
yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan
Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi
rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham tentang Nur Muhammad ini berdasar pada hadis yang sangat populer di
kalangan ahli sufi, yaitu : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia
berasal dari cahayku”. Dan paham ini kemudian dikembangkan dan disebarluaskan
oleh Muhyiddin Ibnu Arabai (w638H) dan Abd.al Karim bin Ibrahim al Jili
(w.811H) dalam kerangka ide Insan Kamil.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran
filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta
diperkenalkan oleh al Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme
Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh al Hallaj
dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyah
sebagai sumber dari segala yang maujud.
3. Wahdah al
adyan (Kesatuan agama-agama)
Inti ajaran dari Wahdah al adyan adalah sebenranya nama agama yang berbagai
macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan
nama dari hakikat yang satu saja. Nama berbeda, satu tujuan. Segala agama
adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama,
atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki
untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Paham
Wahdah al-Adyan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur
Muhammad. Yakni pahamnya al-Hallaj tentang qadimnya Nur Muhammad telah
mendorongnya untuk berkesimpulan tentang kesatuan agama.
Mengenai hal ini, ‘Abdullah bin Tahir al-Azdi mengatakan, sebagaimana
dicatatkan oleh al-Taftazani sebagai berikut:
“Suatu hari aku bertengkar dengan orang yahudi di pasar baghdad. Diapun ku
maki: hai anjing. Ketika itu al-Hallaj lewat dan memandangku dengan geram. Dan
tegurnya: jangan kau maki anjingmu. Dan diapun langsung pergi. Setelah
pertengkaran itu, aku mencari al-Hallaj. Namun ketika ku temui, dia memalingkan
wajahnya. Akupun meminta maaf kepadanya. Lalu dia berkata: wahai sahabatku,
semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan menganut suatu agama tanpa
adanya pilihan, bahkan dipilihkan bagi mereka. Kerena itu, barangsiapa
menyalahkan apa yang dianut golongan itu sama saja halnya dia telah menghukumi
golongan tersebut menganut agama atas upayanya sendiri. Ketahuilah !
agama-agama yahudi, islam dan yang lain-lainya adalah sebutan serta nama yang
beraneka ragam dan berbeda. Akan tetapi tujuan tujuan semuanya tidak berbeda” .
Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia,
karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya
berselisih dan bertingkah. Tetapi lebih baik perdalamlah agama masing-masing.
D. Pendapat
Ulama Mengenai Pemikiran Al Hallaj
Berbagai macamlah perkataan ulama tentang al-Hallaj. Sebagian mengkafirkan dan
sebagian yang lain membela atau membenarkan. Beberapa perkataan, terutama dari
pihak masa kekuasaan pada masa itu tersiar bahwa ajaran al-Hallaj sangat merusak
ketentraman umum. Murid-muridnya sampai ada yang menyangka bahwa al-Hallaj
adalah Tuhan, sebagaimana prasangkaan orang nasrani terhadap diri isa al-masih.
Dia dianggap pandai menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit kusta.
Muridnya kian lama kian banyak. Dan setelah diselidiki oleh penyelidik
kerajaan, katanya dia mengadakan hubungan yang rapat dengan kaum karamithah,
yaitu segolongan umat di abad ketiga dan keempat yang menyerupai faham komunis
di indonesia. Sebab itu dia tidak mau mengakui kekuasaan pemerintahan yang sah.
Dia mengakui sebagian kepercayaan kaum ismailiyyah bahwa imam yang sejati ialah
imam yang ghaib.
Dan lagi menurut beritra yang tersiar itu pula beliau menfatwakan bahwasannya
naik haji yang lahir pergi ke mekkah itu tidaklah perlu dikerjakan. Sebab itu
hanya memayah-mayahkan diri saja. Itu boleh diganti dengan haji yang lain,
yaitu dengan haji rohani, dengan membersihkan diri dan jiwa dan tafakur
mengingat Tuhan dalam khalwat, sehingga ka’bah itu sendirilah yang datang kedalam
khalwatnya menemuinya. Disanapun dia boleh berthawaf.
Memang, banyak di antara ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang
diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang
sependapat dan membelanya. Kebanyakan Ulama fiqih mengkafirkannya. Dengan
alasan bahwasanya mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan Tuhan adalah
syirik yang amat besar. Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al Qayyim, Ibn an
Nadim dan lain-lain berpendapat bahwa hukuman mati yang ditimpakan kepada Al
Halaj memang patut diterimanya.
Tetapi ulama-ulama fiqih yang lain seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang
sangat terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak
mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa berkata apa-apa".
Pembela-pembela Al Hallaj menjernihkan ajarannya dari apa yang dituduhkan orang
kepadanya. Syaikh Abdurrahman As Saqqaf salah seorang Syaikh tarikat Alawiyah,
mengatakan bahwa dia sebelumnya menyangka pada diri Al Hallaj ada keretakan
karena sikapnya, seperti keretakan pada kaca, tetapi setelah sampai pada maqam
al qutbiyyah dia melihat bahwa Al Hallaj telah mencapai tingkat bila diandaikan
buah dia telah matang.
Imam Al Ghazali ketika ditanyai bagaimana pendapatnya tentang perkataan
"ana al haq?". Beliau menjawab," Perkataan demikian yang keluar
dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah. Apabila cinta sudah
demikian mendalamnya, tidak ada lagi rasa berpisah antara diri seseorang dengan
seseorang yang dicintainya". Sehingga beliau, Jalaludin Rumi, dan
Fariduddin al Attar memberinya julukan "Syahidul Haq" (seorang syahid
yang benar).
Beliau syekh Maftuh Basthul Birri salah satu masyayikh di ponpes Hidayatul
Mubtadi’in (lirboyo) dalam bukunya yang berjudul Manaqib 50 Wali Agung
mengatakan “Syekh al-Hallaj ini tinggi sekali ma’rifat dan ilmu haqiqatnya,
jadzab dan cintanya dengan Allah seperti imam Abu Yazid al-Bustomi, sehingga
beliau pernah berkata ANAL HAQ. Maka banyak orang yang ingkar karena tidak
sampai kefahamannya”.Top of Form